Laman

Sebagian dari isi postingan di blog ini adalah repost dari link blog sahabat, saya tidak bermaksud menjiplak tujuan saya adalah untuk dokumentasi pribadi dan memberi informasi kepada pengunjung blog ini tidak ada maksud lain, terimakasih buat blog-blog sahabat, semoga tetap sukses,Terimakasih.
بِسْمِ اﷲِالرَّحْمٰنِ الرَّحِيْم

Maret 30, 2010

dedez

Oleh : Suhariyadi
Dedes! Engkaukah itu yang mengintip dari balik jendela kamarku. Malam begitu dingin dan sepi. Angin membawa embun, melembabkan malam. Tak seorang pun yang mau melewati malam ini. Tapi kenapa engkau benamkan tubuhmu dalam suasana seperti itu. Adakah yang mengusik pikiranmu? Adakah yang mengotori perasaanmu? Masuklah kalau engkau mau berbagi atau sekedar menghangatkan badan dan memenuhi kehausanmu. Aku, Arok yang selalu melihat cahaya di betismu. Itu adalah tanda bahwa takdir akan menyatukan kita untuk meraih ambisi dan cita-cita. Tak perlu ragu. Aku tahu apa yang mesti aku perbuat. Aku tahu apa yang mesti aku lakukan. Sudah ada jalan membentang di depan dan rakyat berjajar sepanjang jalan, mengelu-elukan rajanya yang telah tiba. Tak kau lihatkah semua itu? Tidakkah kau rasakan gemuruh perasaan kita untuk berpaut. Gemuruh suara-suara gaib yang mendorong kita untuk berjalan di sepanjang jalan itu.
Masuklah. Kita akan merajut riwayat kita dari dalam kamar ini. Kita rencanakan apa yang mesti kita rencanakan. Kita tulis satu demi satu apa yang harus kita lakukan. Keraguan cuma menjadi beban dalam perjalanan. Kebimbangan cuma menjadi
sandungan. Dan keyakinan, ya keyakinan, yang akan menggaris tebal apa yang menjadi impian. Takdir telah bersama kita. Tak mungkin salah, karena takdir adalah goresan Dewata. Apa yang diucapkan takdir adalah kenyataan yang belum tampak, kecuali manusia yang menampakkannya. Tenggelamkan keraguanmu ke dasar bawah sadarmu. Hancurkan kebimbanganmu dengan cahaya yang terang dan ramai di ujung masa depan kita. Masuklah. Dan kau akan memasuki apa yang selama ini engkau inginkan. Masuklah. Dan kau akan memasuki ruang hidupku yang tak mungkin kau sesali nanti.
Terang betismu telah mewujud ke dalam mimpiku semalam. Ia menjilma menjadi mahkota di kepalaku. Itu adalah tanda takdir kita. Itu adalah tanda bahwa kita telah terpilih Dewata untuk memayungi Tumapel dengan kekuasaan dan kebijaksanaan kita. Masuklah. Malam semakin merambat. Sebelum sampai di penghujung malam, kita harus sudah membulatkan tekat. Sebelum fajar merangkak keemasan, kita harus sudah menggariskan jalan kita. Biarkan si Tua Tunggul Ametung menerim takdir yang lain. Toh kita dan dia harus menerima takdir yang sama. Hanya takdir kita lebih terang dari padanya.
Ya, membujurlah di sampingku agar aku dapat mendekap rapat tubuhmu. Biar kita menyatu lewat nafas-nafas duniawi yang memburu. Lewat kenikmatan ini akan kita songsong kenikmatan yang lain. Lihatlah! Jalan di depan kita itu. Ramai orang menyambutnya. Kita mesti berjalan ke sana. Kita busungkan dada. Kita sungging senyuman agar mereka meyakini apa yang telah mereka sambut adalah hal yang terbaik. Sebuah pilihan yang benar. Jalan itu tak sepanjang bayangan kita. Di ujung jalan itu, rohTunggul Ametung telah menyambut kita dengan tertatih-tatih sambil membawa mahkotanya untuk kita. Di sanalah Singasari akan membuka sejarahnya bersama kebijaksanaan dan kebersatuan kita. Lihatlah!
Ternyata kita dalam kehausan yang sama. Dalam segala hal kita tak berbeda.Nikmati saja setiap nafas dan kelojotan tubuh kita di atas pembaringan ini. Bukankah telah lama tak kau rasakan bersama Tunggul Ametung. Bukankah telah lama aku juga tak menikmati kelembutan wanita. Biarkan bulan itu memelototi kita. Ia tak tahu apa yang telah tergaris dalam hidup manusia. Ia cuma biasa timbul dan tenggelam sebagaimana garis yang itu-itu juga. Sedang kita ada banyak garis yang bisa kita pilih. Dan Dewata telah menunjukkan satu pilihan di antara garis-garis itu. Dewata telah melapangkan garis itu menjadi jalan yang halus untuk kita lalui. Biarkan angin menggelitik kita. Ia tak tak tahu apa yang harus dipilihnya. Ia cuma mampu berjalan kemana alam akan menuntunnya. Sedang kita mempunyai seribu keyakinan terhadap pilihan. Dan dewata mempercayainya atas keyakinan kita itu.
Kau semakin percaya diri. Wajahmu itu, di balik kecantikannya, tersembunyi ketegaran. Aku telah menangkapnya lewat keringat yang kau lelehkan dari tubuh terkulai. Juga lewat senyum kepuasaan yang tersunggih di bibirmu. Dan biarkan malam berlari memasuki ufuk barat. Kita tak mempedulikannya lagi. Kita toh telah bersatu. Jika pagi membentang di timur, kita tapaki jalan yang telah digariskan Dewata itu. Ya. Tanganmu mesti bergelayut di tanganku. Biarlah Tunggul Ametung menatapnya nanar. Tatapan terakhir yang bisa dia lakukan sebelum ajal tiba menjemputnya.
“Arok, kau telah merampas istriku!”
“Dan kekuasaanmu juga aku renggut. Ujung duniamu telah tiba. Keris yang menancap di perutmu itu, adalah jalannya. Tak usah kau sesali. Dewata telah menggariskan dengan kabajikannya. Manusia hanya bisa menerima apapun yang dikehendaki. Kita hanya melakoni hidup. Cuma waktu saja yang berpihak padaku sekarang. Sebentar lagi, waktu pula yang mendorongku untuk mengemban kekuasaan.”
“Dedes! Kenapa kau percayai laki-laki itu!”
“Kemarahanmu terlalu sia-sia di akhir hayatmu. Wanita yang bijak mesti memilih nuraninya dari pada laki-laki yang hanya bisa melihat kecantikan dan kemolekan tubuhnya. Nurani Dedes telah menunjukkan apa yang harus dipilih.”
*****
Sudah terlalu lama engkau pendam perasaan itu. Inilah waktu yang tepat untuk mengatakan. Tak perlu ragu, apalagi takut. Apapun yang terjadi, biarlah terjadi. Kadang banyak hal kita menjadi peragu. Kadang pula menjadi seorang penakut. Tapi dalam hal perasaan, janganlah menjadi peragu dan penakut. Apalagi bagi perempuan seperti kamu. Perasaan adalah bahasa pikiran. Berbeda dengan laki-laki, menggunakan pikiran untuk mengungkapkan perasaannya. Maka, katakanlah yang kamu pendam. Karena, itu adalah apa yang kamu pikirkan dalam perasaan.
Bulan begitu indah, begitu kata perasaanmu. Tetapi terlalu jauh jarak yang mesti ditempuh untuk meraihnya; untuk mengetahui kesejatiannya. Dan wanita seperti bulan itu di mata laki-laki. Ia tak pernah tahu atau mungkin tak ingin pernah tahu yang sesungguhnya tentang wanita. Ia layaknya kaumnya, terlalu bebal untuk memahami kenyataan jika cintanya telah sampai ke ubun-ubunnya. Dan ketika ia menyadarinya, ia seperti gunung Merapi yang hendak memutahkan lahar panas sekian juta meter kubik. Perempuanlah yang mesti mewadahi dengan kedua belah tangannya. Karena kelembutan akan mendinginkan lahar panas menjadi kesuburan. Jadi katakanlah, kesejatian bulan bukanlah yang tampak, tapi jauh di sana ia akan berbicara tentang dirinya.
Tak perlu berpikir untuk mengatakannya. Perasaanmu adalah pikiranmu. Itu bahasamu. Katakanlah. Waktu tak pernah berhenti berputar. Waktu tak pernah mau sedikit untuk bertoleransi pada kehidupan agar berhenti barang sejenak agar manusia bisa memikirkan banyak hal tanpa merasa takut menjadi tua. Apa yang kamu tunggu. Bukankah menunggu itu membosankan. Itu adalah kematian sesaat ketika manusia berhenti beraktivitas karena pikiran dan perasaannya hanya tercurah untuk menunggu, sedang waktu tak mungkin berhenti.
Ah, ternyata kamu peragu. Apakah itu sifat purbamu. Ataukah, kamu layaknya kaummu, yang justru takut pada kenyataan yang harus terjadi? Itukah sifat azalimu?
“Ndak tahulah, Mas! Rasanya aku takut mas Bagus meninggalkan aku. Aku teramat mencintainya. Kalau memang rahasia ini tak tersampaikan, biarlah terkubur jauh-jauh.”
“Jangan, Tin! Tak ada manusia yang sanggup menyembunyikan rahasia apapun di dunia ini. Lambat laun, akan tercium juga; akan terbuka juga. Jika tidak melalui mulutmu, pasti melalui mulut orang lain. Sedang hanya kau yang mempunyai hak dan tanggung jawab untuk itu. Lebih menyakitkan jika Bagus mendengar dari orang lain. Bukan darimu.”
“Aku tak menyangkal apa yang mas katakan itu. Tapi keraguan dan ketakutan ini begitu dalam. Entahlah, sampai kapan ini terjadi.”
“Sampai kapan? Sampai engkau punya pikiran waras untuk mengatakannya!”
Malam kemarin, ceritamu, Bagus datang ke rumahmu. Rasa bahagianya begitu terlihat ketika dia di sampingmu. Bukankah itu waktu yang tepat untuk menyampaikannya. Bukankah ketika bahagia, laki-laki tak menghiraukan hal-hal yang akan merusak kebahagiaannya itu. Tapi kamu justru mengatakan, tak tega merusak kebahagiaannya itu. Duh, aku semakin heran dan tak tahu siapa dirimu itu? Baru ketika dewasa ini, banyak hal yang tak kumengerti tentang kamu. Sedang aku sudah mengenalmu semenjak kecil. Bahkan tahi lalat yang ada di bawah pusarmu pun aku mengetahuinya.
“Kenapa mas Har begitu yakin kalau aku menyampaikan rahasia ini tidak membuat hubunganku dengan mas Bagus menjadi renggang?”
“Pertanyaanmu itu mengungkapkan kekhawairanmu. Bukannya aku terlampau yakin terhadap apa yang aku katakan. Tapi jika aku menjadi kamu, aku lebih siap menerima segala hal yang akan terjadi, tanpa harus menyembunyikan sebuah rahasia. Mungkin beban menyembunyikan rahasia, akan lebih berat dari pada beban yang harus dipikul dari keterusterangannya.”
“Kamu bisa begitu karena kamu laki-laki.”
Aku pun harus tersenyum jika kamu menanggapi ucapanku dengan mengatakan seperti itu. Apakah laki-laki dan perempuan dibedakan karena laki-laki mau berisiko, tak punya rasa khawatir, atau lebih terus terang dari pada perempuan? Kalau memang begitu, betapa beratnya menjadi seorang perempuan yang serba takut, khawatir, dan selalu harus memendam perasaan dan kemauannya. Salahkah perempuan yang tegar menerima resiko atas perbuatannya sendiri? Salahkah perempuan yang tak pernah khawatir terhadap realitas yang bakal terjadi? Salahkah perempuan yang terus terang mengatakan perasaan dan kemauannya? Ternyata bukan laki-laki yang menjadikan perempuan seperti itu. Ternyata bukan zaman yang menjadikan perempuan memiliki sifat seperti itu. Melainkan perempuan sendiri yang enggan menerabas batas-batas yang selama ini mengungkungnya.
Ketika masih kecil, kita tak pernah mempermasalahkan itu. Kau tak pernah menertawakan aku saat aku menyenangi boneka atau melakukan hal yang sering disenangi anak perempuan. Aku pun tak pernah menertawakan kamu saat kamu membawa pulang mobil-mobilanku atau ikut memanjat pohon asam depan rumahku. Bukankah itu hanya dilakukan oleh anak laki-laki? Tapi aku malah senang atas itu semua. Kita tak mempermasalahkan laki-laki harus bagaimana dan perempuan harus bagaimana. Semuanya serba sama. Tak ada kotak-kotak yang membatasi kemerdekaan kita. Yang kita tahu bahwa kita berbeda, adalah saat mandi telanjang di sungai. Kamu punya kelamin berbeda dari aku.
Kenapa kamu tak kembali saja seperti dulu untuk bisa mengungkapkan rahasiamu itu? Kalau memang itu lebih baik, lakukan saja. Kamu merasakan seperti anak kecil, tidak menghiraukan apa yang bakal terjadi. Hanya ada rasa senang. Hidup memang sebuah permainan dan manusia adalah anak-anak kecil yang selalu bermain. Tak perlu memikirkan dan merasakan yang lain. Toh kita tak tahu apa yang bakal terjadi, seperti masa kecil dulu. Kalu tak senang, kita bisa menangis sepuas kita. Itu pun hanya sebentar. Kita akan cepat melupakan itu. Bermain kembali hingga waktunya untuk tidur; menyingkat waktu untuk bermain lagi esok.
Ya. Kita bisa menangis kalau kamu merasa tidak enak. Semakin air mata kamu peras, semakin hilang perasaan itu bersama derasnya air mata itu. Jangan takut untuk menangis. Karena itu satu-satunya kejujuran manusia yang masih ada. Ingatkah kamu, puisi yang pernah aku kirimkan padamu ketika kita harus berpisah dan tidak menyadari bahwa di dalam hati ini ternyata engkau telah kutulis dengan garis tebal. Begitu juga di dalam hatimu, kamu tulis tebal namaku.
tak perlu malu menangis
cuma itu satu-satunya yang tersisa
yang paling jujur dari manusia.

apa yang bisa diberikan tertawa kalau cuma menutup luka
apa yang bisa diberikan cinta kalau cuma bermain kata
apa yang bisa ditawarkan raga kalau waktu telah bicara
apa yang bisa ditawarkan nyawa kalau tak berasa apa

cuma menangis
berlari dari tak bisa apaapa
paling tidak, jujur pada diri kita
satusatunya yang tersisa

Tak perlu bersusah-susah. Terbukalah. Kejujuran dan keterusterangan masih lebih berharga daripada kebohongan terus menerus yang harus kamu lakukan. Ketidakjujuran selalu membawa kebohongan demi kebohongan untuk menutupinya. Dan itu adalah beban yang terlampau berat kamu pikul nantinya. Kalau kejujuran akan membawa perasaan sakit hati, menangislah. Sesungguhnya masa kecil kita masih melekat di hati kita. Menangis dan tertawa hanyalah sesaat dan batasnya tipis sekali. Bukankah kamu pernah bertanya padaku, kenapa orang bisa tertawa sampai menangis? Kenapa orang bisa menangis dan tiba-tiba terus tertawa? Karena keduanya tak akan mampu dipisahkan manusia. Keduanya selalu mengintip di hati kita untuk keluar saat paling tepat. Keduanya selalu bergandengan tak terpisahkan. Kenapa kamu tak mau mengerti juga?
Semalam aku membaca buku yang pernah engkau berikan padaku, tentang Dedes yang memilih Arok menjadi suaminya. Aku tak akan pernah memahami, lantaran apakah Dedes memilih hidup dalam dekapan Ken Arok itu. Apakah nurani yang telah menuntunnya, ataukah kepandaiannya yang menunjukkan lebih baik memilih Ken Arok yang akan menjadi seorang raja yang tegas dan perkasa. Ataukah Dedes menyerah pada keadaan lantaran tak ada pilihan yang lebih baik lagi. Barangkali juga, Ken Dedes ketakutan akan keberingasan seorang laki-laki seperti Ken Arok itu. Dan barangkali juga, kecantikannya telah menimbulkan kepercayaan diri yang luar biasa untuk tetap menikmati statusnya menjadi seorang ratu. Entahlah! Wanita selalu penuh misteri, seperti kamu.
“Seandainya kau Ken Dedes, apa yang kau lakukan?” Tanyaku semalam dan kau lama berpikir untuk itu. “Kalau kau tak ingin menjawabnya, tak apalah. Aku cuma ingin mengetahui bagaimana perasaanmu sebagai seorang wanita seperti Ken Dedes itu.”
“Apa aku harus menjawabnya, mas?” Kau malah balik bertanya saat itu. Dan aku cukup tahu bahwa kau memiliki jawabannya. Apakah hanya mengungkapkan pendapat saja, kau juga menjadi ragu. Apakah karena menyangkut perasaan wanitalah yang menjadikan kau seorang peragu. “Baiklah jika kau ragu-ragu menjawab pertanyaan itu. Aku akan membaliknya. Lantaran apakah Ken Arok harus memilih Ken Dedes menjadi istrinya?”
“Mungkin karena kecantikannya,” jawabmu cepat. Dan aku cukup memahami juga atas jawaban itu. Aku juga sangat mengerti ketika kau ragu untuk menyampaikan rahasiamu kepada lelaki yang kau cintai. Jawabanmu itu telah mengungkapkan banyak tentang apa yang kau ragukan selama ini. Meski aku menyangsikan semua itu. Aku meragukan atas keragu-raguanmu itu.
Aku pikirkan semalaman percakapan kita itu. Aku baca lebih dalam lagi buku Ken Arok dan Ken Dedes itu untuk lebih mengerti tentang wanita sepertimu; juga Ken Dedes itu. Aku tak tahu, kenapa akhir-akhir ini aku begitu peduli pada kamu. Tak ada celah sedikitpun dalam benakku tanpa memikirkan kamu. Kau terasa begitu berarti bagiku saat ini. Saya kira sudah terlalu lama kita melupakan satu sama lain semenjak perpisahan kita dulu. Sepuluh tahun saya pikir waktu yang cukup untuk melupakan kebersamaan kita. Sepuluh tahun saya rasakan waktu yang berlebih untuk membuang kenangan yang pernah kita ukir bersama. Ternyata aku salah. Waktu sepuluh tahun ternyata tidak mampu menjauhkan kamu dari perasaanku.
Buku itu telah menenggelamkan aku dalam suasana yang asing. Halaman demi halaman yang kubaca, wajahmu seolah menjadi ilustrasi buku itu. Bahkan dalam keletihanku mengartikan kalimat demi kalimat, kau seolah menjilma menjadi Ken Dedes. Kau tersenyum dengan lekuk bibir yang sudah aku hafal bentuk dan warnanya. Kau menatap dengan sorot mata yang tak pernah aku lupa tajamnya. Dan aku merasakan tiba-tiba tubuhku semakin berotot. Aku semakin beringas. Perkasa. Dan jauh di dalam hatiku, aku adalah Ken Arok yang berdiri menyambut senyum dan tatapan matamu itu.
“Lihatlah Dedes jalan itu begitu lapang. Dan di sepanjang jalan itu, rakyat bersorak menyembut kita. Bergelayutlah di tanganku dan senyumlah. Mereka ingin tahu betapa serasinya kita; betapa mempesonanya penampilan kita.”
“Ya, Arok. Kita memang telah menerima takdir atas kekuasaan negeri ini. Aku tak akan meragukan itu. Kita akan menjalani takdir dengan ketetapan hati, meski di antara kita masih ada yang belum terbuka kerahasiaannya.”
“Aku sudah memahami segala hal tentang dirimu. Kau juga sudah mengerti segala hal tentang diriku. Tak ada rahasia yang mesti ditutupi.”
“Kedalaman hati siapa yang tahu kecuali diri kita masing-masing.”
“Ah, kau masih meragukan ini semua.”
“Bukan, Arok. Ketetapan hati dan kekhawatiran hati adalah dua hal yang berbeda.”
“Aku tak mengerti jalan pikiranmu itu. Tapi tak usah kita mempermasalahkan itu. Kita rasakan saja kebahagian takdir kita. Di depan kita telah menunggu roh Tunggul Ametung dengan mahkotanya itu. Ia tak sabar untuk mengenakannya di kepalaku.”
“Maafkan aku, Arok. Ada yang mesti kau ketahui sebelum kita melangkah ke sana.”
“Kau semakin membuatku tak sabar. Katakanlah!”
“Apakah kau semalam tak merasakan ketika kita bersetubuh?”
“Tentu, Dedes. Aku tak akan melupakan kenikmatan itu.”
“Bukan itu, Masih banyak hal yang aku sembunyikan dalam hati dan pikiranku.”
“Apa? Masih banyak yang kau sembunyikan? Jangan bergurau, Dedes. Kau adalah wanita yang terlampau lugu untuk menyembunyikan banyak hal tentang dirimu.”
“Kau belum mengerti juga kenyataan ini. Begitu juga dengan Tunggul Ametung.”
“Aku tak percaya semua itu. Aku hanya tahu dan merasakannya, kalau kau adalah wanita. Dan itu lebih penting dari omong kosong itu.”
“Ternyata benar apa yang kau pikirkan. Kau terlampau sederhana untuk memandang wanita. Kau tak menyadari kalau keperkasaanmu itu karena keringatku yang telah aku tanamkan dalam tubuhmu semalam.”
“Itu benar, Dedes. Semalam memang kita telah memerasnya dengan sahwat kita. Itulah keperkasaanku.”
“Ah. Kau semakin tak tahu kekuatan azali yang ada dalam diriku.”
“Sudahlah, Dedes, aku tak sabar ingin cepat-cepat pergi ke sana. Mahkota itu telah menantiku dengan cahaya kemilauannya. Ia menyinari istana Tumapel yang megah untuk aku tinggali. Ayolah, Dedes. Ayolah….! Dedes! Dedes? Di mana kau? Dedes………!
Buku ini telah menenggelamkan aku ke tempat yang tak kumengerti. Aku juga tak mengerti tentang keraguanmu, seperti Ken Dedes meragukan jalan hidupnya bersama Ken Arok itu. Kalau rahasia itu ingin kau kuburkan dalam waktu, seberapa lama kau tahan dengan beratnya beban yang kau tanggung. Semakin lama beban itu semakin berat. Semakin lama semakin menjadi bom waktu yang siap meledak. Dan ketika itu terjadi, kau tak bisa memutar kembali waktu. Tinggal menyesalinya. Dan itu sudah tak berguna lagi. Sebuah kesia-siaan yang sempurna.
Apa boleh aku membantu membuka rahasimu itu? Pertanyaan itu nyaris aku sampaikan padamu. Tapi aku buru-buru melenyapkan niat itu dari benakku. Tak bijaksana untuk mencampuri persoalan pribadimu. Alangkah baiknya seandainya dari mulutmu rahasia itu kau katakan.. Lebih dari cukup jika aku mendorongmu saja untuk memilih yang lebih bijak. Semua itu berpulang padamu.
Bagiku, persoalan sepuluh tahun lalu tak akan pernah hilang dari ingatanku. Bukan lantaran aku masih dendam dan marah karena peristiwa itu. Itu semua sudah lama hilang. Tak baik aku memendamnya. Itu bisa menjadi racun dalam diriku. Memang itu tak sesulit yang kau rasakan. Kau adalah kunci terjadinya peristiwa itu. Sedang aku cuma merasa menjadi kurban. Tak seberapa. Sedang kau harus mempunyai keberanian untuk membuka rahasianya. Apalagi pada seseorang yang sangat kau cintai. Tapi bagaimana pun kau harus membukanya. Kau harus menyampaikan rahasia itu dari pada terlanjur. Saat itulah resiko yang mesti kau tanggung lebih berat dari pada jika kau sampaikan sekarang. Katakan!
Ketika laki-laki itu tiba-tiba muncul di depanmu sepuluh tahun lalu, kau tak menyangka kalau dia seorang yang sangat dibenci ibumu. Kamu tak tahu kenapa ibumu begitu benci padanya. Kau baru tahu ketika ibumu kau paksa untuk menceritakannya. Dia, istrinya, dan ibumu, pernah terlibat cinta segi tiga. Dia, yang kamudian baru kamu ketahui sebagai ayah Bagus, kekasihmu itu, adalah seorang pria yang teramat dicintai ibumu. Saking cintanya, ibumu rela menentang orang tuanya. Sayang, ketika perasaan cinta itu semakin melangit, dia mengawini wanita lain. Ibumu tak mau menerima kenyataan itu. Bahkan ibumu tak mau tahu ketika mengetahui kalau wanita itu sudah hamil duluan. Bayi yang kemudian diberi nama Bagus itu, menjadi alasan kenapa lelaki itu harus mengawininya. Ibumu juga tak mau tahu ketika mengetahui kalau semua yang terjadi hanyalah kecelakaan yang tak disengaja. Kejadian itu disulut oleh alkohol yang merasuki otaknya. Apapun alasannya, dia harus mempertanggungjawabkan perbuatannya itu. Ibumu tak mau tahu. Ia marah. Sedih. Benci, hingga dibawa mati. Kebencian dan kemarahannya menjadi racun yang menggerogoti ibumu hingga akhir hayat.
Peristiwa itu menyempurnakan tradisi permusuhan di antara keluargamu dan keluarga Bagus secara turun temurun, sejak entah garis keturunan yang keberapa. Yang kau tahu, sebelum peristiwa itu terjadi, kedua keluarga itu sudah lama memendam permusuhan. Keluargaku pun, yang begitu dekat dengan keluargamu, kena imbasnya. Kau baru tahu semua itu ketika kau menemukan catatan yang ditulis ibumu. Kau sedih waktu itu. Dan kesedihan itu semakin memuncak ketika tahu semua itu berkaitan dengan Bagus; laki-laki yang begitu mencintainya. Kau takut kejadian itu juga terulang padamu. Kau percaya tradisi permusuhan itu akan terulang padamu dan Bagus sebagai sebuah takdir. Aku cuma bisa meyakinkan, tak ada takdir semacam itu. Itu semua telah mereka buat sendiri. Tak ada campur tangan dari takdir. Dan kini, mereka telah tiada. Kau cuma sebatang kara; begitu juga dengan Bagus. Apa yang kau sebut dengan tradisi permusuhan itu telah terkucur bersama jasad mereka. Hanya kau satu-satunya yang mengetahuinya. Bagus pun tidak. Tinggal kau, akankah mempercayainya.
Bukan itu, mas Har, persoalannya, begitu katamu malam itu. Catatan ibumu yang kau temukan itu mengungkapkan ternyata kehamilan ibu Bagus bukan karena ayahnya. Ayah Bagus, yang diharapkan menjadi suami ibumu itu, hanya menolong kehormatan keluarga wanita itu. Bagus tak tak tahu siapa ayahnya sebenarnya. Niat yang baik itu telah merenggut kebahagian ibumu.
Kamu mengetahui itu semua. Kamu menerima semua itu. Tapi, kejadian itu membayangi perasaan cintamu pada Bagus. Bayangan ketakutan itu tak mungkin tersampaikan karena membuat Bagus mengetahui siapa dirinya. Apa yang terjadi nanti pada diri Bagus ketika rahasia itu diketahuinya. Ketakutan demi ketakutan muncul dalam benakmu. Dan itu tak akan pernah bisa hilang jika kau tidak membuka rahasimu itu. Biarlah yang terjadi biar terjadi. Itu tak seberat apa yang bakal terjadi saat rahasia itu diketahui Bagus dari orang lain.
*****
Hari ini kamu muncul lagi. Kau sudah berubah. Anak-anak kecil lucu itu, anak-anakmu. Lima tahun ternyata telah merubah kamu. Sedang aku cuma sendiri. Tak berubah, kecuali rambut dan kumisku semakin lebat.
“Kau seperti seniman,” katamu dengan bibir dan tatapan mata yang tak pernah aku lupa bentuknya.
“Anak-anakmukah itu?”
“Ya. Tiga anak dalam setahun.” Kamu tampak bahagia dengan kalimat itu. Nampaknya bebanmu telah kau cairkan. Bebanmu telah engkau hapus dari benakmu. Bukankah itu lebih baik?
Tapi, siapa laki-laki itu? Suamimukah itu? Tapi bukan Bagus? Berpuluh-puluh tanda tanya berkelebatan. Kamu mengetahui kebingunganku ketika aku menatap laki-laki di sampingmu itu.
“Kenalkan, mas Har, dia suamiku,” katamu agak canggung. Ternyata kamu memilih menguburkan rahasiamu itu bersama cintamu ke dalam masa lalu. Dan jalan yang kamu pilih itu, banar-benar semakin menyempurnakan kemisteriusan kamu. Kamu benar-benar Dedes dalam mimpiku itu, yang meninggalkan Arok untuk memilih jalan sendiri.
“Tak perlu bingung, mas Har,” begitu awal suratmu yang kau kirimkan lewat sela-sela bawah pintu rumahku. “Aku lebih mempunyai pilihan yang aku anggap baik. Aku lebih memilih mengurbankan perasaan cintaku pada mas Bagus. Cinta dan perkawinan adalah dua hal yang berbeda. Tidak setiap cinta mesti berakhir dengan perkawinan. Aku tidak ingin seperti ibu, yang harus mati dengan memendam kebencian luar biasa karena cinta. Aku juga tak ingin menyaksikan bagaimana perasaan sedih dan marah muncul dalam diri mas Bagus demi mendengar rahasinya. Aku juga tak ingin terus-menerus dalam bayangan ketakutan dan keraguan itu. Perasaan cinta yang aku kurbankan ini, justru bagian dari kesucian cinta itu. Itu tidak membenamkan cinta ke dalam tragedi, tapi sebaliknya, menghargai betapa mulia dan indahnya cinta karena pemiliknya harus mau berkurban untuk itu.”
Ternyata kamu lebih bijaksana. Ternyata kamu lebih mulia. Tapi kau tetap misteri bagiku.



4 komentar:

  1. ya ra ana..tapi ngirim doble miki yah??

    BalasHapus
  2. wis tek busek nang aku
    tenang bae.........
    selamat berkarya!
    jangan lupa budayakan berkomentar!
    :-)

    BalasHapus
  3. dul, cerita ne deng dawa temen!
    kaya buku pelajaran........
    kwkwkwkwkkwk...

    BalasHapus

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...